Senin, Mei 18, 2015

Yang Tersingkir dari Takalar


Bagaimana rasanya bekerja sebagai buruh di tanah sendiri. Orang-orang di Takalar punya jawabannya, tanah mereka "dirampas" paksa oleh PTPN sejak awal tahun 1970-an. 
SABTU 25 Oktober 2014, sejak pukul 11.00hingga jelang petang, bersama seratusan warga yag tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng berkumpul di bawah pohon beringin di tengah lahan pertanian di Desa Barugaya, Takalar. Mereka duduk beralaskan tanah dan rumput yang mengering karena kemarau panjang guna mencari langkah tepat untuk tetap mempertahankan tanah pertanian, yang bersengketa dengan PT Perkebunan Nusantara XIV Takalar sejak 2008.
Di bawah pohon itu, warga berbagi tempat dengan puluhan ternak sapi dan kuda yang ikut mengaso.Sebelumnya beberapa orang membunuh waktu dengan bermain domino, atau tebak-tebakkan.Beberapa lainnya, membaringkan badan diantara akar pohon, lalu memejamkan mata.
Hasnawati Daeng So’na tiba-tiba berkeliling, meminta setiap orang menyumbang Rp2.000 untuk urunan membeli air minum.“Tak ada terkecuali,” katanya.
Daeng So’na adalah perempuan tangguh. Sekali waktu saya melihatnya mengurus makanan, atau berdiri di baris paling depan saat melakukan demonstrasi. Dan beberapa menit setelah uang terkumpul, diantara kepulan debu di belakang sepeda motornya, dia mengapit dua kardus air mineral diantara pahanya.“Bagi mi ntu air,” katanya.
Ketua Serikat, Abdul Hamid Daeng Mone menggunakan baju batik dan kopiah hitam. Dia berdiri diantara warga, mencoba membuka diskusi.Dia bercerita dengan intonasi yang pasti, tipe seorang orator.“Kita berkumpul untuk memastikan, bahwa kita masih ada.Kita tak boleh menyerah, ini adalah tanah kita, tanah orang tua kita.Kita harus terus berjuang, sampai nyawa taruhannya.”
Semua orang mengangguk setuju.Mereka mengepalkan tangan.“Hidup petani.”Anggota Serikat ini mencapai 802 orang dan tersebar di Sembilan desa. Disekeliling mereka terhampar lahan-lahan kering karena kemarau. Beberapa milik warga namun sebagaian besar dimiliki PTPN XIV untuk kebutuhan pabrik gula Takalarberoperasi sejak 1980, mengandalkan lahan warga dalam bentuk Hak Guna Usaha seluas7.970 hektar.
Jarak Kecamatan Polongbangkeng Utara dari Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan, sekitar 50 km atau satu jam melalui perjalanan darat.Dalam beberapa literatur, pembentukan administratif Polongbangkeng sekira tahun 1816 saat pemerintahan Kerajaan Inggris meninggalkan Hindia Belanda. Wilayah agraris ini dibelah bukit dan gunung relatif rendah, diselingi tanah datar yang luas. Ia terhubung dengan Kabupaten Gowa yang memiliki bendungan terbesar Bilibili, sumber air minum untuk kebutuhan warga Gowa dan Makassar, beroperasi pada 1999 dari dana pinjaman Japan International Cooperation Agency.
Sebagian warga Polongbangkeng mengolah lahan itu menjadi ladang sawah dengan sistem irigasidan bisa panen dua kali dalam setahun. Sebagian lainnya bertani dengan mengandalkan curah hujan, hanya panen sekali setahun. Pada musim sela petani menanam umbi, sayuran, kedelai, kacang panjang,buah dan tebu.
Kondisi tanah yang subur ini, menarik sebuah perusahaan swasta untuk mengembangkan tanaman tebu sebagai bahan baku utama produksi gula. Puncaknya pada 1978, PT Madu Baru yang didirikan dan dimiliki keluarga keraton Yogyakarta membebaskan beberapa hektar lahan warga. Namun pada 1980, perusahaan yang dikenal juga dengan nama PT Madukismo tiba-tiba mundur dan membatalkan semua rencananya. Namun di tahun yang sama, PTPN XIV mengajukan diri sebagai pengganti melalui SK Bupati Takalar 1980.
Sebagai salah satu perusahaan pelat merah yang beroperasi di Sulawesi Selatan, PTPN XIV mengelola tiga buah pabrik gula, masing-masing Pabrik Gula Camming di Jeneponto, Pabrik Gula Araso di kabupaten Bone dan Pabrik Gula Takalar di Takalar. Total areanya mencapai 14.312 ha. Setiap ketiga pabrik ini diperkirakan memproduksi gula sebanyak 36.000 ton atau memasok 1,33% komsumsi gula nasional yang mencapai 2, 7 juta ton.
Pada masa awal, beroperasinya pabrik gula di Takalar merupakan salah satu kebanggaan masyarakat sekitar. Pasalnya, ketika hendak dibangun, masyarakat dijanjikan akan mendapat pekerjaan yang layak. Prioritas tenaga kerja pun dari penduduk lokal.Iming-iming itu membuahkan hasil. Masyarakat dengan rela menyerahkan lahan pertanian mereka  dengan ketentuan sewa selama 25 tahun.
Tahun 1980-1982 dilakukan pengukuran tanah. Lahan-lahan warga yang memiliki surat P2 – sertifikat dan rincik – dihargai Rp236.000 dan tanah yang tak memilki surat-surat sah dihargai Rp125.000 setiap hektar.
Saat pengukuran tanah dilaksanakan Basir Daeng Toro menjabat sebagai kepala desa di wilayah Ko’mara.Dia ikut mengukur dan turun langsung ke lapangan.“Pada masa itu semua orang gembira.Kehidupan akan berjalan lebih baik, karena tanah kami di sewa perusahaan, kami atau palig tidak anak-anak kami akan bekerja di perusahaan,” katanya.
Namun, harapan tinggallah kenangan.Akhir tahun 1983 masa jabatan Daeng Toro sebagai kepala desa berakhir.Ingin kembali bertani, namun lahan sudah raib.Akhirnya, dia memilih meninggalkan kampung menuju Makassar, bekerja sebagai satuan pengamanan (Satpam) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.
Dalam kurun waktu 1982-2004 praktis membuat warga melupakan lahan mereka untuk dikelola. Setiap hari mereka hanya melintasinya,  atau memandanginya dari kejauhan. “Tak ada yang dapat kami lakukan, kami hanya menunggu hingga waktu sewa itu berakhir,” kata Daeng Toro.

Membentuk Organisasi
Dua puluh lima tahun berlalu.. Warga pun mulai saling mengingatkan akan berakhirnya sewa lahan oleh PT Perkebunan Nusantara. Tahun 2006, puluhan warga kemudian membentuk forum tani dan melayangkan surat ke perusahaan, menggelar dialog dan perundingan, namun tak membuahkan hasil.
Tahun 2008 aksi pertama secara besar pun dimulai. Dari sinilah warga terus memperjuangkan hak kepemilikan tanahnya, meskipun selalu saja diwarnai berbagai macam aksi kekerasan oleh polisi dan tentara yang melindungi perusahaan.
Aksi demi aksi, yang dilakukan sepanjang tahun pun, paling tidak telah membuahkan hasil.Akhir tahun 2013, sekitar 800 hektar lahan yang berada di Desa Barugaya berhasil direbut.Warga terlihat begitu antusias.Tanaman padi sebagai makanan utama, ditanam dan dirawat dengan baik.Ketika bulir-bulir padi mulai muncul, semua orang berucap syukur.Tak jarang tanaman itu menjadi tontonan dan buah bibir sepanjang hari.
Saya kemudian menonton video perayaan pesta panen warga yang dilaksanakan pada Maret 2014.Warga berbondong-bondong menuju lahan.Menggelar tarian syukur, melakukan pagelaran teater, membakar piong (lemang), makan bersama, dan bersorak kegirangan.
Ratusan petani terlihat riang.Beberapa lainnya berlinang air mata karena suka cita.Daeng So’na misalnya, mengangkut 50 karung beras ke atas rumahnya.Menatap bulir padi seperti mimpi yang berwujud nyata.“Akhirnya kami benar-benar jadi petani, karena sudah ada lahan. Namun, ratusan keluarga yang lain belum memiliki. Maka kami akan terus berjuang,” katanya.
Kegigihan memperjuangkan lahan mereka, tak lepas dari pendampingan beberapa lembaga non pemerintah, seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, perkumpulan mahasiswa, dan Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA), Lembaga Bantuan Hukum Makassar, KontraS dan beberapa organisasi lainnya. Mereka mendidik petani yang tak pernah tau berserikat, memberi pemahaman, menciptakan kesadaran bersama untuk mengerti hukum. “Saya membekali diri bersama petani lain. Dan kini saya dan teman-teman tahu, jika setiap orang berhak berkumpul bersama,” kata Daeng Toro.
Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar secara resmi dibentuk pada November 2009 di Benteng Somba Opu. Dan hasilnya, pada Rabu 17 September 2014, saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan di bawah tenda terpal, semua orang terlihat haru.Ada yang berdiri, ada yang terlihat tertunduk, ada pula menengadahkan kepala, atau juga menutup mata, Beberapa memegang dada.Saat bait terakhir lagu kebangsaan itu berkumandang, hampir serentak seperti teriak terdengar suara yang diikuti kepalan tangan; Hidup Petani.
Saya berada diantara mereka dan benar-benar menghirup aroma perjuangan.Sekitar 700 orang yang berkumpul.Dari anak muda, orang tua, hingga kaum perempuan.Mereka datang dari berbagai sudut desa dalam wilayah Kecamatan Polongbangkeng Utara. Sejak hari itu, selama tiga hari hingga 19 September 2014, organisasi yang mereka bentuk sejak tahun 2009 bernama Serikat Tani Polongbangkeng (STP) menggelar Musyawarah Besar ke III di desa Ko’mara.
Rapat besar itu digelar di halaman dan di bawah kolong rumah.Tiang tenda dari bambu, kursi plastik dan kopi dalam termos-termos berjejer.Semua terlihat bahagia.Dari hasil Musayawarah itu mereka memilih 13 orang pimpinan kolektif dengan masa jabatan 2014 – 2017. Diantara pimpinan kolektifnya tercantum nama Daeng So’na. Dan yang terpilih menjadi ketua yakni Abdul Hamid Daeng Mone.
Pimpinan AGRA Sulawesi Selatan, Ismar mengatakan, pembentukan organisasi tani dilakukan untuk melindungi hak-hak para para petani. Iming-iming tentang keberlanjutan dan bantuan dari perusahaan harus benar-benar dikawal.“Organisasi tidak untuk menentang perusahaan.Kami tahu, PTPN adalah adalah aset Negara, namun jika tidak memihak petani, tentu kita perlu mengingatkannya secara bersama,” katanya.
Sejak tahun 2008, Ismar sudah mendatangi Polongbangkeng sebagai pendamping lapangan. Dia bersama beberapa rekannya dari lembaga lain, melakukan sosialisasi dan pendekatan. Dia percaya petani yang berdaulat adalah mereka yang bersatu, bukan bercerai berai.

Ratusan petani, baik yang tua dan kaum perempuan mempertahankan tanah mereka yang akan digarap PTPN IV pada aksi 27 Oktober 2014. @2014 / Eko Rusdianto

SETELAH LAHAN RAIB,Hasnawati DaengSo’na akhirnya tak punya pilihan dan meninggalkan kampung. Memilih menjadi buruh tani dengan upah harian di beberapa tempat di wilayah Sulawesi Selatan. Upahnya sesuai jumlah panen.Berapa penghasilannya?“Janganmi dihitung yang penting anak bisa makan,” katanya.
Bagi Daeng So’na kerjaaan menjadi buruh tani bukanlah hal baru. Di Takalar, kampungnya sendiri, sejak tanah orang tuanya di ambil alih pabrik gula, dia menjadi buruh di perusahaan. “Sejak SD sampai SMA, setiap pulang sekolah saya menjadi buruh harian. Menanam dan memotong tebu”.
Upahnya Rp250 per 100 meter untuk menanam dan Rp2.500 per ton untuk upah menebang. Kalau saya menanam, sebulan saya dapat Rp20 ribu,” katanya.
Saya pertama kali bertemu dengan Daeng So’na pada September 2014 saat pembukaan Musyawarah Besar STP yang dilaksanakan di desa Ko’mara.Ketika hendak mewawancarainya, dia terlihat enggan dan malu.Alasannya, bahasa Indoensia dia tak terlalu lancar.
Diantara sesama warga, Daeng So’na dijuluki sebagai “wanita pejuang” - tentu bersama puluhan perempuan lainnya.“Saya itu tidak tau berjuang.Saya hanya minta dan mau tanah saya kembali, agar saya dan teman-teman lain dapat mengolah kembali lahan,” katanya.
Saat itu, Daeng So’na di Kabupaten Bone “Saya dengar warga di Polongbangkeng mulai bertanya soal sewa lahan yang jatuh tempo.Saya pikir, kenapa saya mau panen di sawah orang, padahal di kampung saya punya tanah, jadi saya pulang,” katanya.
Tahun 2009, gelombang  masyarakat semakin besar. Warga mulai melakukan aksi, menahan traktor pengolahan perusahaan.Aktivitas terhenti.Pada Agustus 2009, konflik pertama pecah. PTPN XIV yang dibantu aparat Kepolisian dan TNI membubarkan warga dengan pentungan, tembakan gas air mata, dan tembakan peluru kea rah kerumunan. Sebanyak delapan warga tertembak.Dan tujuh orang lainnya di tangkap.
Saat aksi itu terjadi, Daeng So’na berada diantara kerumunan petani.Dia merasakan ototnya mengencang ketika melihat beberapa kerabatnya terluka, tertembak, lebam karena pukulan, atau melihat darah mengucur.“Saya marah sekali, saya menangis lihat itu kejadian,” katanya.
Ternyata teror tak hanya berhenti di lapangan saat aksi terjadi.Pada malam harinya, aparat kepolisian dan TNI melakukan penyisiran di kampung dan rumah-rumah warga.Nama Daeng So’na masuk dalam daftar pencarian.Bersama suaminya, Daeng bantang, mereka menghindar. Menempuh perjalanan 15 kilometer menuju rumah saudara di kampung lain. “Kalau siang, saya pulang lihat anak saya.Menjelang magrib saya tinggalkan rumah setelah saya memasak,” katanya.
“Pernah itu anak saya tanya, nda usahmi lari-lari terus. Tapi saya bilang, inimi resikonya kalau orang mau benar.Lama-lama anak saya mengerti,” jelasnya.
Di tempat terpisah, Daeng Sijayaseorang petani lain di Polongbangkeng duduk di balai-balai bambu di bawah kolong rumahnya. Dia mengurai ingatannya dengan suara yang pelan. “Tahun 2009, itu teror paling menakutkan di Polongbangkeng.Saya tidur di dalam kandang ayam.Tak menggunakan penerangan dan tidur seperti ayam.Selalu terjaga,” katanya.
“Jika ada cahaya senter, atau cahaya motor.Atau melihat orang berjalan menuju halaman rumah, maka saya cepat-cepat berdiri kemudian lari ke belakang rumah,” lanjutnya.
Sepanjang Agustus hingga Oktober 2009, suasana kampung benar-benar suram.Siang hari tak ada laki-laki yang berani lalu lalang sendiri.Di malam hari semua lampu rumah cepat padam.Sejak itu, kekerasan akibat sengketa lahan terus terjadi.Tak terhitung jumlah warga yang mengalami kekerasan fisik, puluhan terkena tembak, dan intimidasi yang berlangsung tiada henti.
Duaharisetelah pertemuan di bawah rindang pohon itu, sekira pukul 09.00 sebanyak 800 orang anggota Serikat Tani Polongbangkeng, berkumpul di sebuah lahan di kelurahaan Parang Luara’. Mereka terlihat penuh semangat, berjalan meniti pematang dan menenteng botol-botol air minum.
Tujuan mereka satu, menghentikan proses pengolahan lahan yang dilakukan PTPN XIV. Namun aparat keamanan dari Polisi Pamong Praja, kepolisian dan TNI telah bersiap dan menunggu mereka di lokasi.Mereka terihat dengan santai menikmati bebepa kudapan, meneguk air mineral di bawah tenda besi berterpal biru.
Ketika warga yang beranggotakan para petani tua, muda, dan perempuan berdiri di depan traktor, seluruh orang yang mengasoh di bawah tenda biru itu berhamburan keluar. Aparat keamanan menenteng senjata, para pegawai PTPN membawa beberapa potongan tongkat kayu.Mereka berhadap-hadapan. Daeng So’na berada di garis depan, berteriak dan memberi semangat warga lain. Saya memilih berdiri diantara dua kubu.“Kami ingin dialog, namun pengolahan lahan harus berhenti dulu,” kata warga.
“Oh tidak bisa,” kata suara muncul dari kubu perusahaan.
“Enak saja.Mana bisa begitu.Kalian itu seperti negara saja.Ini tanah negara.”
Beberapa menit kemudian, di tengah kerumunan massa, Nirwan, sekretaris daerah Takalar, Ketua DPRD Takalar Muhammad Jabir Bonto, dan Dandim 1426 Takalar Letkol Inf Wirawan Eko Prasetyo. Mereka mencoba menawarkan solusi.“Sudahlah, program saat ini setiap keluarga tergabung dalam serikat tani memperoleh lahan dua hektar.Lahan ini bukan hak milik, tetap dimiliki perusahaan.Harus menanam tebu bukan tanaman lain,” kata Nirwan.
“Tebu ini pasar jelas.Negara memerlukan produksi gula tebu 3 juta ton per tahun.Kita hanya mampu sebagian.Hasil tebu inilah, ibu-ibu dan bapak-bapak beli beras.”
Nirwan melanjutkan pidato.Dia memgang microphone.“Setelah ada lahan kerjasama, dibentuklah koperasi. Jadi perusahan akan membeli dengan harga baik. Pabrik gula ada untuk mensejahterakan rakyat, tidak mungkin merugikan masyarakat,” kata Nirwan.
“Bagaimana dengan lahan kami.Kami ingin keluar dari HGU. Sebesar apapun tanah kami, akan kami garap. Jangan dikuasai PTPN.Kami minta hanya 2.000 hektar itu,” kata warga.
“Itu sulit.Soal tanah itu berurusan dengan pengadilan.Harap ibu-ibu dan bapak-bapak tahu.Lahan dalam HGU ini inventaris negara, jangankan 2.000 hektar, puluhan meter tak boleh.Saya (pemerintah daerah) pernah meminta 30 hektar untuk dikeluarkan dari HGU tapi di pusat (Jakarta) tak mengizinkan.”
Dandim 1426 Takalar Letkol Inf Wirawan Eko Prasetyo juga ambil bagian. Dia memgang microphone dan berbicara lantang.Dia menunjuk-nunjuk warga khususnya laki-laki.“Kalau laki-laki jangan di belakang, hayo sini bicara.Jangan jadi pengecut,” katanya.
Dia juga mengingatkan agar sebaiknya warga menerima tawaran dari pemerintah daerah dan perusahaan.Menurutnya, sistem tersebut memberikan keuntungan kedua belah pihak.“Jika setuju saya kira ibu-ibu dan bapak-bapak akan hidup baik, perusahaan juga tentu baik.Jadi saling membantu,” tambahnya.
Menurut dia, adanya aksi penghalangan untuk menggarap lahan perusahaan memberikan dampak buruk.“Perusahaan ini adalah aset negara, dan itu sama saja dengan melawan negara,” tegasnya.
Namun warga tak bergeming.
Jelang pukul 12.00 pertemuan tak menghasilkan kesepakatan.Orang-orang berada di kubu perusahaan memilih istirahat di bawah tenda dan warga di sela-sela pematang, atau berlindung di bawah pohon.Matahari siang itu begitu menyengat.Beberapa warga berbagi air minum dan buras untuk penganjal perut.“Sampai kapan kita menunggu.Kenapa tidak pulang saja,” kata saya di sela-sela istirahat.
“Sampai orang-orang PTPN itu pulang juga. Kalau kita pulang, mereka akan menggarap lahan. Itu kan lahannya kita,” kata beberapa orang.
“Kami harap kalian (para wartawan) jangan pulang dulu. Kalau kalian pulang, saya khawatir aparat akan semakin beringas, karena sudah tak ada lihat,” jelas warga lain.
Saya memilih beristirahat di pinggiran sungai yang hampir kering.Empat orang warga laki-laki memilih turun ke dasar sungai yang berpasir.Menggalinya dengan tangan telanjang, untuk mencari kerang.“Itu kerang enak di makan.Kalau hari biasa, mana bisa kita datang mencarinya.Orang PTPN selalu curiga dan banyak pertanyaan,” jawab seorang warga.
Setelah kami bersendagurau di pinggiran sungai, seorang warga berteriak memberi arahan untuk berkumpul.Warga dengan sigap menapaki tebing sungai. Beberapa orang yang menggunakan kaos PTPN XIV– menurut warga adalah orang luar  alias preman bayaran–, pegawai perusahaan, bersama aparat bergerak bersama. Gelombang ini dipimpin ketua DPRD Takalar.
Jabir menggunakan safari hitam dan kopiah hitam.Dia meminta karyawan PTPN menjalankan traktor pembajak.“Jalankan.Gas-gas biar suara keluar.Satu dua tiga.Hei karyawan PTPN kesini, halangi warga,” katanya memberi instruksi.
Jabir bergerak dengan lincah.Tangan menunjuk-nunjuk.
“Mana Pol PP, ambil barisan.”
Warga tak tinggal diam. Beberapa kaum perempuan berdiri kembali di depan ban traktor, yang tingginya mencapai dua meter.
“Allahu Akbar,” seru beberapa warga.
AKSI INIdipicu dari peristiwa, pada Sabtu 14 Oktober 2014 di lahan yang sama. Ketika empat orang Karyawan PTPN mengoperasikan empat unit mobil traktor, mengolah lahan milik Dg. Tarring – yang masih kosong. Pengolahan itu dikawal 13 orang aparat kepolisian dari kesatuan Brimob yang bersenjata laras panjang.
Setelah lahan Daeng Tarring tergarap, pihak perusahaan kemudian mengolah lahan milik Rahman Daeng Rani yang telah berisi tanaman ubi jalar. Padahal sejak tahun 2013 sejumlah lembaga non pemerintah di Makassar dan Serikat Tani Polongbangkeng pun pernah mengajukan protes atas keberadaan Brimob di PTPN XIV kepada Kompolnas, atas keberadaan Brimob. Rekomendasi pun dikeluarkan, sesuai tuntutan warga.
Pertengahan 2013, kondisi memanas lagi. Perusahaan tetap saja menempatkan Brimob untuk mengamankan proses pengolahan lahan sengketa. Warga pun protes.Perjanjian lainya yang telah dilakukan bersama Kapolres Takalar, menyebutkan, PTPN XIV dilarang mengelola lahan yang diklaim milik warga sampai ada penyelesaian kasus.
Namun apa daya, sekitar 40 orang petani yang telah berkumpul dipaksa mundur oleh Brimob. Bahkan ironisnya, Bripka Rahman Santawi malah mengambil alih kerja pengolahan.Menjadi operator dan menjalankan traktor.“Kami ingin hidup, ini lahan kami,” kata beberapa petani.
Situasi semakin memanas dan warga semakin bertambah.Sekitar 100 petani melakukan perlawanan yang lebih keras.Bripka Rahman meninggalkan kemudi, namun bersama anggota 12 brimob lainnya mendatangi kerumunan warga dan menodongkan senjata. “Apa hak mu di sini,” kata Bripka Rahman Santawi dengan nada membentak,
“Tanah ku ini kodong” kata Daeng Rani.
“Na rampaski (tanah kami dirampas) PTPN, mau tongki hidup. Dan tanah ini masih dalam proses penyelesaian pak,” kata petani yang lain.
“Pihak Pemda (Pemerintah Daerah Takalar) sudah menginstruksikan untuk mengolah semua lahan tanpa terkecuali” kata Bripka Rahman Santawi.
Dan pengelohan  pun tetap dilaksanakan.

Para petani bertahan di depan kendaraan alat berat PTPN IV yang akan menggarap lahan. @2014 / Eko rusdianto

DAENG SARROmelayangkan senyum pada saya ketika mengaso bersama di pinggiran sungai yang kering. Wajahnya yang penuh keriput seperti menutupi rautnya yang lelah. Saat meneguk air dari botol, dia melayangkan kembali pandangannya ke arah tenda biru milik PT Perkebunan Nusantara XIV.
Dan saat Muhammad Jabir Bonto terlihat berjalan cepat, diikuti puluhan pegawai PTPN XIV berserta polisi dan tentara, Daeng Sarro berdiri sigap. Sarung yang memilit badannya, digulungnya hingga setinggi betis. Orang-orang mulai berseru dan berkkumpul. Tepat di sisi kanan depan ban traktor pembajak, dia berdiri. Seakan hendak memeluknya.
Beberapa orang terlihat menarik Daeng Sarro dengan kuat, tapi tak berhasil. Dan seperti sebelumnya diahanya tersenyum, tak berkata sepatah kata pun. Kakinya yang tak menggunakan alas sudah tertutup debu. “To matoa apa e (orang tua apa ini),” kata seorang dari pihak PTPN XIV.
Jammaki disitu (janganlah ditempat itu - janganlah ikut-ikutan),” lanjutnya.
Saat dialog itu selesai, Daeng Sarro pun telah tercerabut dari pegangannya. Orang yang menariknya lebih kuat. Dia terus ditarik hingga ke belakang traktor pembajak. Dan entah mengapa dan dengan cepat dia berdiri kembali di depan ban traktor di sisi kiri.
Adu mulut antara warga dan pihak PTPN XIV belum berhenti. Beberapa orang saling dorong. Dan tiba-tiba Daeng Sarro terhempas ke tanah. Tiga orang mengerubuninya termasuk Jabir Bonto yang memegangi bajunya dan terus menariknya.Kancing baju kemeja terlepas. Badan pun penuh debu.
Seorang perempuan yang melihat kejadian itu, berteriak histeris. Dia berlari dan menyingkirkan orang-orang yang mengerubuni Daeng Sarro, lalu dengan sigap memeluknya. Beberapa kali dia mengucapkan kata orang tua untuk mengingatkan beberapa orang perusahaan. “Ka loyomi itu. Tarikmi semua,” kata seorang polisi yang berdiri sekitar lima meter dari kejadian.
Jabir semakin kalut.Dia berjalan atau berlari dan tak berhenti bicara.Dia ikut memburu warga dan berusaha menangkap.
“Mana polisi, tangkap saja mereka.Cari yang provokator,” teriak Jabir.
“Apa lagi, hayo bergerak.Ini kita sudah dengan ketua Dewan,” kata tentara yang memegang tongkat.
“Kasih jalan saja itu traktor, tidak mungkin mereka bertahan,” teriak yang lain.
Situasi tak terkendali.Warga yangmelintas “di garis” pembatas berusaha ditangkap polisi, tentara, dan pegawai PTPN.Saya melihat beberapa kali terjadi pemukulan, tak terkecuali perempuan didorong keras hingga terhempas.Saya terkejut ketika tentara mengeluarkan pistol dan mengancam warga.“Ayo tembak saja,Pak. Tembak itu.!
Jelang pukul 15.00 kondisi mulai tenang.Warga kelelahan. Puluhan pasukan Brimob yang membawa senapan lars panjang, membuat formasi mengelilingi warga.
“Lihat, takut itu mereka.Hayo jalankan traktor.Mana orang PTPN,” perintah Jabir.
“Jika traktor sudah bekerja dan ada yang menghalagi, itu artinya melawan negara dan merugikan perusahaan,” lanjutnya.
Sebelum aksi ini menjadi ricuh, saya sempat menemui Jabir. “Mengapa permintaan warga untuk lahan tak dikeluarkan saja dari HGU,” tanya saya. “Oh itu tidak bisa. Tadi kan sudah dijelaskan. Ingat, hari ini kita tidak bicara soal itu, karena itu urusan hukum. Warga juga tak punya sertifikat kan. Sekarang kita bicara tentang lahan kerjasama.Itu saja.Jangan bicara yang lain,” kata Jabir.
Akhirnya Jabir benar-benar melaksanakan apa yang dikatakannya. Dua orang petani, Daeng Mangun dan Daeng Aming ditangkap dengan tuduhan menghalang-langi pengelolaan lahan yang akan dilaksanakan oleh PTPN XIV.
Empat hari setelah aksi itu, dua warga Polongbangkeng pun masih dalam tahanan. Dan PTPN XIV yang dikawal aparat gabungan dari polisi dan tentara yang berjumlah sekitar 200 orang, dengan tenang melakukan pengolahan lahan.
Sampai kapan konflik ini akan berakhir? Daeng So’na hanya tersenyum dan menerawang. “Nda taumi itu. Tapi kami mau tanah kami kembali. Biar kami olah sendiri. Kalau itu besok-besok ada kerjasama dengan PTPN biarmi, tapi biar kami yang menentukan mau tanam apa, jadi tanah bukan punya PTPN lagi,” katanya.
“Itue, sekarang saja ada yang tanam tebu. Tebunya sudah di PTPN tapi belumpi dibayar-bayar. Adami satu tahun lebih kayaknya,” lanjutnya.
Yang jelas, kata Daeng So’na, petani di Polongbangkeng Utara tak menginginkan konflik. Hanya menyita waktu dan tenaga. Dia lalu merentangkan sekian banyak aksi yang dilalui, dan semua diwarnai kekerasan. “Bayangkanmiitu. Kita itu nda mau berkelahi. Kami ini (petani) hanya mau tanahnya kembali yang sudah di sewa PTPN.”


* Tulisan ini juga dipublikasikan oleh Pindai : http://pindai.org/2014/11/11/kami-hanya-mau-tanah-kami-kembali/


0 comments:

Posting Komentar