Senin, Mei 18, 2015

Tersingkir Di Tanah Leluhur

Dulu, lapangan luas ini adalah Kampung DOngi. Kini, lapangan golf PT Vale. Foto: Eko Rusdianto
Yadin Wololi (60 tahun) berjalan di lapangan golf  PT Vale
yang dulunya meruapakan lahan persawahan warga,
@2014 Eko Rusdianto 
Yadin Wololi (60 tahun), berjalan melintasi lapangan golf PT Vale. Menginjakkan kaki di rumput yang tercukur rapi. Dan tiba-tiba melambatkan langkahnya. “Ini letak kampung Dongi dulunya. Dulu rumah di sini rumah berjejer membentuk huruf L besar,” katanya.

“Di tengah kampung, ada lapangan. Di sana juga ada gereja,” lanjutnya.

Dia lalu menyebut beberapa nama orang, mungkin kerabatnya. Menunjukkan letak rumahnya. Tapi semua hanya dalam bayangan. “Ini pohon jambu monyet, saya ingat ini. Ini jambu yang di tanam di halaman rumah,” kenangnya. “Saya kira ini juga pohon mangga yang ada sejak dulu, juga kelapa itu. Ada juga rumpun bambu,”

“Nah tempat kita berdiri ini dulunya sawah. Dulu tanahnya datar, tak ada itu bukit seperti ini. Semua rata. Ini sawah kepala suku kami,”

“Kalau itu mata air. Tak pernah kering, makanya sawah selalu dapat air melimpah,

“Tahun 1950-an itu saya masih menggembalakan kerbau di sekitaran sini. Kadang-kadang membawanya minum di pinggiran danau.”


Yadin Waloli bercerita seakan tak terputus. Derap langkahnya tak terlihat lelah, padahal kami hampir mengelilingi lapangan golf yang luasnya sekira 8 hektar. Tatapannya kuat, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika dia memandang sekitarnya, sebuah mobil melintas di dekat kami. Seorang petugas dengan cekatan, memutar dan memindahkan selang penyemprot air untuk menumbuhkan dan menjaga kesuburan rumput.

Saya mencoba memegang air yang keluar dari keran, segar dan dingin. Sementara, di depan lapangan golf, tepat di seberang jalan, berdampingan dengan lapangan perkemahan, puluhan rumah warga Dongi dari suku Karunsie, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan, harus rela mengirit penggunaan air.

Rumah-rumah warga Dongi itu adalah rumah non permanen. Berlantai semen halus, atau rumah panggung dengan tiang dan dinding sederhana. Tak ada penerangan jalan di sekitaran kampung. Begitu gelap, saat malam tiba.

Sebagian besar orang-orang Dongi menggarap kebun, atau juga menjadi  buruh, tukang ojek, memulung dan beberapa bekerja di perusahaan kontraktor PT Vale dengan upah kelas rendah. Mereka seperti tuan rumah yang terlupakan.

Teror Sepanjang Masa
TAHUN 1952 ketika pergolakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung besar di wilayah Kecamatan Nuha – meliputi Sorowako, Towuti, Wasuponda –  dan Malili, penduduk meninggalkan kampung.

Tahun 1953 warga di kampung Dongi yang mayoritas memeluk agama Nasrani, berpindah ke wilayah Malaulu – sekarang Kecamatan Malili. Hingga tahun 1959 situasi tak kunjung kondusif, warga pun berpindah ke Mangkutana hingga akhir tahun 1961.

Pergolakan refresif pasukan DI/TII tetap semakin kuat, Mangkutana pun akhrirnya dikuasai. Tahun 1962, warga Dongi kembali mengemas barang dan menuju kampung Gontara di wilayah Beteleme, Sulawesi Tengah.

Di Gontara, warga Dongi bertahan dan memulai kehidupan hingga sekarang. Keahlian bertani dan bercocok tanam mereka lakukan. Beberapa diantara warga bahkan menuai keberhasilan. Namun apakah mereka melupakan kampung leluhur mereka? “Tidak sama sekali,” kata Yadin.

Pada masa pengungsian, kata Yadin, beberapa orang tua kampung termasuk ayahnya, selalu mengunjungi kampung Dongi. Mereka melewati belukar dan tebing tinggi pegunungan Verbeek. Orang-orag Dongi dengan begitu hati-hati memasuki kampung, memanen beberapa tanaman yang dapat diangkut menuju tempat pengungsian. Tak sedikit dari mereka yang di temukan oleh pasukan DI/TII dan berakhir dengan kematian.

Pergolakan DI/TII berakhir pada tahun 1965. Kondisi kampung sekitar masih menyisakan kecaman. Doktrin tentang agama masih kuat. Dan saat itu, Yadin sudah menamatkan Sekolah Menengah Pertama tahun 1967 di Manado. Saat pulang liburan itulah, dia bersama empat orang tua dari Dongi menuju kampung mereka.

Dan alangkah terperanjatnya mereka, ketika mendapati rumah dan kampung telah menjadi arang. Yadin menggambar dan menghitung letak-letak rumah yang telah hangus. Jumlahnya mencapai 57 unit.  “Saya ingat sekali, hanya gereja yang tidak terbakar, tapi atapnya sudah tidak ada,” katanya.

Tahun 1968, Anggaran Dasar pembentukan PT Inco disepakati. Dan tahun 1978 dilaksanakan penandatanganan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia untuk wilayah konsesi yang luasnya mencapai 118 ribu hektar, termasuk di dalamnya wilayah pemukiman warga Dongi.

Saat pengembangan proyek penambangan berjalan, beberapa proyek infrastruktur dan fasilitas diadakan, rumah untuk karyawan, sekolah dan sarana pendukung lainnya seperti tempat olahraga. Pada tahap inilah, kampung Dongi diratakan dengan alat berat dan disulap menjadi lapangan golf.

Awal tahun 1970-an, orang-orang Dongi mencoba mengunjungi kampung halaman. Namun mereka hanya mampu mengelus dada, melihat sisa-sisa rumah sudah tak ada lagi.

Tak ada yang dapat diperbuat. Tahun 1977, beberapa warga mengadu kepada pemerintah setempat, karena melihat kampung sudah teracak-acak. Namun, jawaban dari pemerintah Kecamatan Nuha yang saat itu masih berkantor di Wasuponda, dengan tegas memihak perusahaan. “Lebih baik  kami kehilangan masyarakat daripada kehilangan perusahaan,” kata kepala Kecamatan saat itu, yang ditirukan Yadin.   

Komunitas Adat yang Terabaikan
RABU 15 Oktober 2014, saat mulai petang, Husein melaksanakan tugas akhirnya di nursery kawasan taman Wallacea dan area pembibitan PT Vale, menyiram tanaman dan mematikan keran air. Dia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor dengan upah kelas rendah. Upahnya Rp2,8 juta setiap bulan dengan jam kerja lembur yang padat.

Saat melihatnya menarik selang, ototnya mengencang, dengan keriput disekujur tubuhnya. “Untuk hidup dengan keluarga ya seperti ini. Harus sabar dan bersyukur,” katanya.

Di tempat pembibitan itu, Husein tak hanya merawat tanaman, tapi juga menjaga sepuluh-an rusa totol putih, seekor anoa dataran tinggi dan seekor lagi anoa dataran rendah. Memberi makan, menyiapkan air untuk kumbangan anoa. Tak ada seorang pun yang bekerja di nursery PT Vale yang begitu paham tentang binatang itu, kecuali dia.

“Anoa itu liar. Tapi begitu manja. Tapi juga kotor, air kubangannya ditempati mandi,buang kotoran dan minum disitu juga,” kata Husein.

Dia mengajak saya masuk kawasan taman itu melalui pintu belakang bersama Yadin. Ada pagar kawat setinggi 2 meter mengelili taman dan menutup jalur penduduk menuju Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kecamatan Nuha.

TPA itu disediakan oleh PT Vale sebagai bagian dari kepedulian dengan masyarakat. Terletak di belakang kantor General Facilities and Service PT Vale. Masih dalam kawasan konsesi perusahaan. Beberapa warga Dongi mengatakan, tertutupnya akses menuju TPA membuat mereka harus berpikir lebih keras lagi untuk menambah penghasilan. “Ada banyak warga yang menjadi pemulung, mengumpulkan beberapa sisa air mineral kemudian dijual.”

“Jadi jika ada pertemuan pramuka, kami mengumpulkan sisa air mineral. Kami tak malu, itu kerjaan halal. Tapi perkemahan hanya ada beberapa kali dalam setahun, jadi tak berharap banyak,” kata Tini Lanapu, yang juga istri dari Husein.

“Saat akses belum di tutup (akses menuju TPA ditutup tahun petengahan tahun 2014), setiap hari saya dan beberapa warga ke TPA. Mengambil sisa-sisa sampah yang dapat dijual kembali,” ujar Tini.

“Saya ikut andil dalam memagari akses ke TPA. Tapi itu perintah perusahaan dan saya lakukan. Saya hanya jadi buruh. Kepada keluarga-keluarga lain, saya sudah minta maaf,” kata Husein.

Sebelum meningglakan kawasan nursery PT Vale, Yadin menjelaskan jejak taman yang kami lalui. Pohon dan rumput yang tertata apik, jalan-jalan beton untuk tempat berlari, tempat duduk untuk mengasoh, gundukan-gundukan tanah untuk menopang kegiatan outdoor. Sungguh menyenangkan. 

“Coba lihat, kami sudah tak ada bukti. Dulu kawasan ini adalah tanah datar yang luas. Ini adalah lahan pertanian orang Dongi. Gundukan ini, dulunya tak ada, ini sisa tanah kerukan dari gunung Buton  yang ditambang,” katanya.

Kini, gunung Buton itu sudah terkelupas. Saat ini, rasanya tak elok menggunakan kata gunung untuk Buton, lebih tepatnya bukit. “Dulu gunung ini tinggi. Ada pancuran yang menjadi tempat warga mengambil air. Dekat pancuran itu, ada tasima (kuburan leluhur). Tapi ya itu, semua sudah tak ada, sudah dikeruk dan diratakan,” ujar Yadin.

Kampung Dongi yang ada saat ini (disamping depan lapangan golf) dihuni pertama kali oleh Yadin Wololi tahun 2003. Dia membuka dan membersihkan belukar. Membangun sebuah tenda kecil bersama keluarganya. Beberapa hari kemudian, aparat kepolisian dan pengamanan dari perusahaan mendatangi. Yadin diancam.

Pada Oktober 2003, pada sebuah pagi saat Yadin sedang mencangkul di halaman rumah. Beberapa orang polisi menghampiri, mengokang senjata dan menyatakannya sebagai seorang keras kepala. 

“Saya disuruh keluar dari tempat ini. Padahal ini kampung leluhur saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya. Apapun yang terjadi. Mati sekalipun,” kata Yadin.

Akhirnya, polisi membawanya menuju kantor keamanan PT Vale. Dalam ruangan yang bersuhu dingin, Yadin diinterogasi, dibentak dan diancam. Setelah kejadian itu, beberapa orang memasang plang larangan untuk tidak beraktivitas dalam kawasan konsesi perusahaan.

Yadin tentu tak menghiraukannya. Akhirnya beberapa kali dia dijemput polisi dan pemerintah setempat. “Apakah bapak pernah di pukul?.”

“Soal seperti jangan ditanya. Saya sudah melaluinya dan sudah tak terhitung. Sudah tak terhitung, tapi hingga sekarang saya masih ada disini,” jawabnya.    

Beberapa kali perusahaan dan Pemerintah Daerah membuat kesepakatan untuk mengeluarkan penduduk Dongi dari kawasan itu. Salah satunya adalah membuat relokasi tahun 2010 ke wilayah di Kecamatan Wasuponda.

Tahun 2010, perusahaan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah membangun 57 unit rumah sesuai jumlah rumah yang berada di kampung Dongi (di lapangan golf). Letak perumahan baru itu berada di sisi bukit, dari pusat kecamatan Wasuponda dibutuhkan sekitar 30 menit berkendara. Saat hujan mengguyur akan lebih lama lagi, karena jalannya yang berbatu dan tanah.

Saat terjadi perjanjian, beberapa warga Dongi tak menyetujuinya. Namun tetap dilaksanakan. Dalam perjanjian awal rumah yang dibangun memiliki ukuran 6x8 meter, halaman 15 meter, dengan fasiitas air dan listrik. Namun pada kenyataan bangunan rumah hanya 4x5 meter. Sangat kecil, dengan dinding batako yang rapuh. Bahkan tak ada fasilitas air bersih dan listrik. “Begitukah perusahaan dan pemerintah memanusiakan orang,” kata Kepala Suku karunsie (Mohola) Bali Pombu.

Akhir tahun 2012 kemewahan akan listrik baru menyentuh perumahaan itu. Sebelumnya warga hanya menggunakan penerangan seadanya. Genset yang ada hanya cukup menerangi beberapa rumah dan dilakukan dengan swadaya. “Alhamdulilah sudah ada listrik. Tapi untuk air bersih kami masih menggunakan air sumur. Saat kemarau seperti ini, kami membeli air bersih di Wasuponda untuk keperluan minum dan masak,” kata ibu Elis salah seorang warga yang menghuni perumahaan baru itu.

Akses  Layanan Umum yang Sulit
Pertengahan tahun 2014, Tini Lanapu bergegas membawa anaknya ke rumah sakit PT Vale yang hendak melahirkan. Petugas rumah sakit enggan memeriksanya, dia meminta kartu pengenal sebagai masyarakat asli kawasan. Namun, ironisnya warga Dongi tak masuk dalam daftar. Dan harus membayar sejumlah uang.

Beruntung seorang kawannya dari Sorowako yang tergabung dalam KWAS (Kerukunan Wawoinia Asli Sorowako) membantunya. Maka dapalah dia pengobatan gratis. “Kalau bilang dari Dongi, kami tak pernah dilayani. Itu terjadi beberapa kali,” kata Tini.

Dari segi pendidikan, masyarakat di kampung Dongi hanya mampu menyekolahkan anak hingga Sekolah Menengah dengan alasan biaya pendidikan yang tinggi. Padahal sejak tahun 2000-an awal hingga tahun 2013, program beasiswa yang digagas perusahaan dan Pemerintah Daerah telah berjalan dan sudah menelorkan beberapa alumni. Dan ironisnya, warga Dongi hanya mendengar, tapi tak pernah merasakannya.

Saat mengunjungi kampung Dongi (yang saat ini berada di dekat lapangan perkemahan dan berhadapan dengan lapangan golf), rasanya seperti berada di luar wilayah kontrak karya PT Vale. Kampung Dongi hanya berupa jalan berangkal tanah. Jumlah rumah hanya sekitar 50 unit. Halaman rumah dijadikan kebun-kebun kecil untuk menanam sayur dan tanaman musiman lainnya.

Secara administrasi pemerintahan, kampung Dongi masuk dalam wilayah Kelurahan Magani, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kepala Kecamatan Nuha, Kamal Rasyid mengatakan kondisi masyarakat Dongi sekarang ini memang menjadi perhatian utama. “Saya tahu ada disana listrik dan air diambil dari fasilitas perusahaan. Itu akan kami koordinasikan untuk mencari jalan terbaik,” katanya.

Beberapa tahun lalu, kata Kamal Rasyid, telah dilaksanakan kesepakatan antara Pemerintah, Perusahaan dan Warga Dongi. Dalam perjanjiannya disepakati jika wilayah adat yang saat ini menjadi kampung Dongi akan dibuat menjadi cagar budaya.

Bagaimana  konsep cagar budaya itu? “Inilah yang kami belum tahu seperti apa, karena belum dilakukan. Apakah warga tetap bisa mendiami lokasi atau tidak,” katanya.  

Sejarah dan Asal Usul Orang Dongi
Orang Dongi berasal dari suku Karunsie yang pada masa awal bermukim di wilayah Witamorini di Lembo Mbo’o (lembah yang busuk). Penamaan Lembo Mbo’o karena masyarakat Karunsie memiliki usaha pertanian yang sangat maju, tanaman yang melimpah yang terkadang tak mampu di panen secara keseluruhan dan kemudian tinggal membusuk.

Sementara Karunsie berarti tiang lumbung pangan. Sekitar tahun 1880 saat Belanda mulai masuk, penduduk Karunsie meninggalkan tempat secara terpisah, seperti di Lawewu, Kaporesa dan Balo-balo (masih dalam kawasan Luwu Timur). Dari Lawewu masyarakat kemudian berpindah ke Salonsa dan Tapulemo.

Tahun 1920, kepala distrik Nuha menyatukan kampung yang kemudian dikenal dengan sebutan kampung baru – sekarang telah menjadi lapangan golf PT Vale. Dari kampung inilah nama Dongi muncul.

Dongi adalah nama pohon yang memiliki buah masam dan kecut. Digunakan masyarakat untuk memasak ikan. Pohon Dongi atau pohon Dengen tumbuh subur di beberapa tempat di sekitar wilayah danau Matano. Bentuk buahnya lucu, seperti jeruk manis. Tapi ketika matang, kulitnya akan terbuka dan jatuh ke tanah.  

*Laporan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia:  http://www.mongabay.co.id/2014/11/04/nestapa-warga-dongi-tersingkir-di-tanah-leluhur/

0 comments:

Posting Komentar